Di Tana Toraja Aku Titipkan Jejak Kaki


13740441261494372597

Tana Toraja

Tengah hari itu aku berada di Ke’te’ Kesu’, Toraja. Beberapa pengunjung sibuk mengabadikan diri dengan kamera di antara barisan tongkonan yang berjajar cantik di sisi kiri dan kanan. Aku pun memandangi rumah-rumah adat Toraja itu dengan kagum. Tak lupa,  aku pun menitipkan jejak kakiku di tanah para raja ini.

***

Sekitar jam 6 pagi bus yang aku naiki tiba di kota Rantepao, Toraja Utara. Hampir 10 jam perjalanan ditempuh dengan bus yang berangkat dari Makassar pada malam sebelumnya. Setiba di Rantepao, aku dan seorang teman dari Malaysia segera mencari penginapan. Setelah meletakkan barang bawaan dan membersihkan diri, kami bergegas ke luar kamar untuk berkeliling Toraja.

1374044231381574776

Rantepao, Toraja Utara

Pagi itu cuaca mendung. Khawatir terjadi hujan seperti hari sebelumnya saat aku di Makassar, kami memutuskan untuk menyewa mobil. Lumayan heavy on the cost, mengingat hanya kami berdua yang menyewa mobil itu. Aku menelepon salah satu tempat penyewaan mobil, dan tak kurang dari 5 menit mobil pun datang di depan penginapan. Dua pria dewasa duduk di kursi depan mobil itu, satunya adalah pemilik mobil dan yang lain adalah sopir.

Aku pun menanyakan apakah ada Rambu Solo di Toraja pagi itu dan pemilik mobil pun menjawab ada. Beruntung sekali, mengingat tak semua orang yang datang ke Toraja bisa menyaksikan Rambu Solo ini. Kebetulan juga saat itu sedang ada perayaan 100 tahun Injil Masuk Toraja. Penyalaan obor yang kemudian dibawa berkeliling Rantepao sudah dilakukan hari sebelumnya, dan di hari-hari selanjutnya diadakan beragam acara seni budaya di kota Rantepao. Namun karena waktu kunjungan yang hanya sehari, aku memilih untuk melewatkan perayaan 100 IMT tersebut.

Setelah pemilik mobil berpamitan, kami bertiga (aku, temanku dan pak sopir) bergerak menuju sebuah tempat yang berada di utara Rantepao untuk melihat upacara Rambu Solo. Pemandangan alam yang berbukit-bukit dengan hamparan sawah yang hijau segar sungguh memanjakan penglihatan. Dan ketika kami sampai, ternyata acara Rambu Solo belum dimulai. Kami melanjutkan perjalanan menuju Kompleks Megalitikum Bori terlebih dahulu, baru kemudian kembali lagi ke tempat tersebut.

Di Kompleks Megalitikum Bori yang berada di Kecamatan Sesean ini terdapat beberapa menhir yang mengingatkanku pada film kartun Asterix – Obelix. Beberapa menhir berdiri menjulang, yang paling tinggi mungkin sekitar 5 meter. Tak jauh dari menhir-menhir tersebut, beberapa makam batu bisa dijumpai.

13740443241065021944

Menhir di kompleks megalitikum Bori

137404441044189028

Makam batu di Bori

Dari Bori, kami kembali lagi ke tempat sebelumnya untuk melihat Rambu Solo. Acara belum dimulai ketika aku dan temanku masuk ke rante dan duduk di salah satu lantang yang ada disitu. Cerita selengkapnya mengenai pelaksanaan Rambu Solo bisa dibaca pada tulisan sebelumnya.

1374044487782275928

Rambu Solo

13740445711254658818

Rambu Solo

Menjelang siang sekitar jam 11, kami meninggalkan tempat tersebut meski upacara Rambu Solo belum selesai. Kami kembali lagi ke pusat kota Rantepao dan sempat melihat keramaian perayaan 100 IMT, namun kami tidak berhenti untuk menyaksikan acara tersebut. Akhirnya kami pun tiba di tujuan selanjutnya, yaitu Ke’te’ Kesu’. Di Ke’te’ Kesu’ ini terdapat rumah adat atau tongkonan tertua yang ada di Toraja. Ornamen-ornamen cantik dengan beberapa tanduk kerbau menghias tongkonan-tongkonan tersebut.

13740446311709208827

Tongkonan di Kete Kesu

1374048824298711512

Tanduk kerbau

Dari Ke’te’ Kesu, kami menuju salah satu tempat pemakaman yang ada di Londa. Banyak tempat pemakaman yang bisa kita jumpai di Toraja ini, namun kami hanya memilih satu tempat saja yaitu di Londa. Di tempat ini, pemakaman yang ada berupa gua yang berada di tebing batu. Begitu memasuki gerbang, kami berjalan kaki melewati jalanan batu sebelum akhirnya tiba di gua. Tengkorak dan tulang belulang, peti mati dan beberapa benda khas lain bisa ditemui baik di depan maupun di dalam gua. Bahkan ada pemakaman lain yang letaknya cukup tinggi di gua-gua di atas tebing batu tersebut.

13740446992143545682

Londa

1374044740978157591

Londa

Dari Londa, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Setelah tidur siang hampir 2 jam, kami menikmati sore itu dengan berjalan-jalan di sekitar penginapan. Tak lupa mencari menu untuk berbuka puasa yang banyak dijajakan oleh para penjual makanan di sekitar masjid, tak jauh dari penginapan. Dan malam harinya, kami pun menyudahi kunjungan kami ke Toraja dan menuju ke Makassar.

1374045334872926366

salah satu sudut jalan di kota Rantepao

Inilah sedikit cerita saat kunjungan singkatku ke Toraja minggu lalu. Sebuah tempat yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, yang tak lain adalah bagian dari kekayaan Indonesiaku.

Uniknya ‘Rambu Solo’, Upacara Pemakaman Jenazah Masyarakat Toraja


Tana Toraja, saya pertama kali mengenal nama ini dari permainan monopoli waktu kecil dulu. Jika waktu itu hanya tangan saya saja yang menyentuh petak kecil bertuliskan Toraja dengan cara menggerakkan bidak permainan, tak disangka akhirnya saya bisa menginjakkan kaki ke tempat yang berada di provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki alam yang indah serta budaya yang juga khas ini beberapa hari lalu.

Salah satu budaya yang dimiliki oleh masyarakat Toraja adalah Rambu Solo, sebuah upacara pemakaman jenazah yang dilakukan oleh masyarakat yang menganut Aluk To Dolo (kepercayaan yang dianut masyarakat Toraja). Rambu Solo biasanya memerlukan waktu berhari-hari, bahkan bisa berminggu-minggu. Pelaksanaannya terkadang baru digelar setelah berbulan-bulan sejak berpulangnya yang bersangkutan. Seperti yang saya lihat di salah satu wilayah di Rantepao beberapa hari lalu, Rambu Solo dilakukan setelah kurang lebih 7 bulan dari waktu meninggal.

 

kerbau-kerbau di luar tempat acara

 

di dalam tempat acara

Sekitar jam 9 pagi saya tiba di lokasi. Beberapa kerbau terikat pada tongkat bambu di seberang jalan dari tempat berlangsungnya Rambu Solo. Ketika saya masuk, saya melihat juga beberapa kerbau dan babi yang ada di lapangan tempat berlangsungnya acara (disebut rante). Di sekeliling rante, terdapat pondok-pondok dari kayu yang disebut lantang, yang sudah diberi nomor-nomor. Karena acara belum dimulai, saya pun duduk di salah satu pondok. Acara yang akan saya lihat saat itu adalah penerimaan tamu, salah satu rangkaian dari upacara Rambu Solo. Sebelum acara penerimaan tamu tersebut (hari sebelumnya), sudah dilakukan acara pemindahan jenazah dari rumah duka menuju tempat berlangsungnya acara.

 Tamu-tamu mulai berdatangan, juga beberapa rombongan pengunjung serta wisatawan asing yang salah seorang dari mereka sempat saya tanya mengenai negara asalnya dan dijawabnya mereka dari Israel. Dan setelah menunggu beberapa lama, sekitar jam 10 pagi acara hari itu pun dimulai.

 

memukul lesung

 

tarian perang

Sekelompok wanita memukul lesung beberapa menit, sebagai suatu tanda. Tak lama kemudian di sisi lain, tiga laki-laki berpakaian merah dan selempang putih menarikan tarian pa’randing (tari perang) sambil membawa perisai atau tameng. Di belakang ketiga pria (mereka disebut to ma’randing) tersebut, rombongan keluarga/kerabat akan mengikutinya dan bergerak menuju salah satu pondok tempat penerimaan tamu.

 

menari dalam lingkaran

Setelah keluarga/kerabat duduk di tempat yang disediakan, masuklah sekumpulan laki-laki yang mengenakan baju berwarna oranye dan melilitkan kain hitam yang menutupi pinggang hingga kaki. Mereka membentuk lingkaran, berpegangan tangan, menari dan menyanyikan hymne kematian. Mereka ini disebut dengan to ma’badong.

Pemimpin acara kemudian membacakan pemberian apa yang dibawa oleh para tamu, datang dari mana dan pemberian ditujukan kepada siapa. Pembacaan ini sangat panjang dan memakan waktu yang cukup lama. Sekitar jam 11 siang saya pun menyudahi kunjungan hari itu dan bertolak menuju tempat lain. Sebenarnya masih ada acara lainnya, yaitu adu kerbau di sore harinya (wah, sayang saya harus melewatkannya). Dan keesokan harinya akan dilanjutkan dengan pemotongan kerbau-kerbau secara massal, hingga akhirnya jenazah dimakamkan.